Bicara tentang Jogja, buat saya, salah satu bahaya latennya adalah ajakan berkuliner di malam hari.
Jujur saja, saya bukan penyuka gudeg jika makannya pagi, siang ataupun sore. Tapi entah kenapa, selalu tak kuasa menolak ajakan makan gudeg di malam hari. Hih. Saya suka sebal sendiri perihal ini.
Banyak orang menerjemahkan gudeg sebagai makanan yang manis. Eits, nanti dulu. Simak yang satu ini.
Hedi Hinzler, ahli bahasa Jawa Kuno yang mengajar di Leiden menyebutkan bahwa manis memang dikenal sebagai salah satu rasa yang wajib ada dalam makanan di Jawa kuno, tapi itu tidak dominan.
“Dalam teks-teks Jawa Kuno disebutkan ajaran Hindu tentang enam rasa atau sad rasa, yaitu manis, asin, asam, pedas, pahit dan sepat”, terangnya.
“Hidangan baru akan nikmat kalau mengandung enam rasa itu dengan perimbangan yang harmonis”.
Seporsi gudeg yang lengkap di dalamnya ada gudeg (baik nangka ataupun manggar), ayam yang gurih, telur yang legit, sambal krecek yang pedas dan daun pepaya atau singkong yang pahit.
Lantas, seperti apa rasa gudeg?
Makan gudeg yang tepat harus dengan komposisi yang tepat pula. Anda ga boleh pilih kasih. Biarkan setiap unsur-unsurnya masuk ke mulut Anda dengan harmonis. Dengan begitu barulah filosofi gudeg akan tercapai.
Seperti kata Bono (Nicholas Saputra) dalam Film Aruna dan Lidahnya: “Hidup itu kayak makanan. Dalam satu piring ini, kamu bisa ngerasain pahit yang sepahit-pahitnya atau asin yang seasin-asinnya. Kalau lu makannya sendiri-sendiri”.
Jadi, kalau kamu ke Jogja, jangan lupa buat nyobain makan gudeg di malam hari dan yang terpenting, bagaimana cara makan gudeg.
Ingat, harmonisasi.